Dayak Kanayatn adalah
salah satu dari sekian ratus sub suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan,
tepatnya di daerah Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang serta di sebagian
kecil Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, dan Kabupaten Sanggau. Namun, seiring
dengan perjalanan waktu dan moblitas penduduk, saat ini masyarakat dayak kanayatn
dapat ditemui hamper disetiap daerah di Kalimantan Barat dan bahkan ke luar
daerah. Ini menunjukkan keadaan suku dayak kanayatn yang sudah maju.
Pakaian Tradisional suku Dayak Kanayatn terbuat dari kulit kayu Tarab
atau Kapuak/Kapoa'. Bajunya berbentuk Rompi yang disebut Baju Marote atau baju uncit. Cawatnya terbuat dari
Kain tenun atau kulit Kayu yang disebut Kapoa.
Serta mahkota atau ikat kepala yang dalam bahasa ahe disebut Tangkulas. Tangkulas ini
biasanya dihiasi dengan bulu Ruai/Kuau Raja, serta bulu Enggang. Terkadang,
jika bulu burung Ruai tidak ada, bisa diganti dengan Anjuang Merah (sejinis
tanaman).
Upacara adat yang biasa diadakan oleh suku ini antara lain Naik Dango (pesta padi), Muakng rate, gawai dayak dan lain-lain.
Sistem Religi
Religi asli suku Dayak Kanayatn tidak terlepas dari adat istiadat mereka.
Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik
sehari-hari, orang dayak kanayatn tidak pernah menyebut agama sebagai
normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem hindu
Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya.
Orang Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek
moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng ( sekarang masuk wilayah
kabupaten Bengkayang ). Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka
memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau
padagi. Selain itu diperlukan juga
seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia
dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan
Katolik serta segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa
dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah
jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak,
melainkan Melayu atau orang Laut
Bahasa
Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun.
Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan
kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini
dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat
pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami
wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam
bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan
Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga
batukng-ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan
logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.
Lembaga Adat
Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah
komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang dusebut binua. Binua merupakan
wilayah yang terdiri dari beberapa kampung (dulunya radakng/ bantang). Masing
masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang
satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong(kepala
desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala
dusun) danpangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi
lembaga adat Dayak Kanayatn
Sistem Kekerabatan
Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem
bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang
anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada
sepupu delapan kali. Hubungan
kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada
perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar